SEANDAINYA
IBUKOTAKU, CYBER CITY
By Walan
Yudiani
Enam bulan yang lalu tepatnya, Sabtu 16 april 2016 di gedung F,
Kemendikbud semua mata tersentak kaget betapa
mirisnya, budaya literasi masyarakat Indonesia pada tahun 2012
menempati urutan ke 64 dari 65 negara. Sementara Vietnam menempati urutan ke-20
besar. Pada penelitian yang sama
posisi membaca siswa Indonesia di urutan ke 57 dari 65 negara yang diteliti (Programme for International Student Assessment ), tambah lagi berdasarkan statistik UNESCO pada tahun 2012 indeks minat baca di Indonesia baru mencapai
0,001%. Artinya dalam setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat
membaca. Terus bagaimana dengan Tahun 2016 ini.
Literasi menurut UNESCO (2012) adalah
kemampuan mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, menciptakan,
mengkomunikasikan dan kemampuan
berhitung melalui materi tertulis dan variannya sementara Harmanto (2016
) literasi lebih pada keberaksaraan, kemampuan untuk membaca dan menulis,
membudayakan diri sebagai sebagai insan professional, menumbuhkan kemampuan
siswa menjadi insan pembelajar dan memfasilitasi terwujudnya budaya literasi di
sekolah.
Bercermin dari teori diatas maka benar-benar
kita bermimpi buruk apabila betul memang
terjadi pada Indonesia-ku. Seperti ada ungkapan, “Dengan membaca kita menguasai
jendela dunia”. Bagaimana mungkin anak
didik kita nantinya di pentas dunia jika membaca saja tidak mau, alhasil
mungkin saja menjadi penonton yang tak berarti dan sangat disayangkan jika pembiaran ini terus
dilakukan.
IGI Provinsi DKI bekerja sama Dinas
Pendidikan Provinsi dan dibantu oleh beberapa sponsor melalui “Program Gerakan 1000 Guru Menulis” menyadarkan kita
sebagai pelaku pendidikan harus dengan segera
sisingkan lengan perjuangan untuk menyelamatkan generasi bangsa kita
dari zero literer dan bangkit untuk
menumbuhkankan kemampuan siswa menjadi insan pembelajar, membudayakan
diri sebagai insan professional serta kemampuan untuk membaca dan menulis.
Memang tidak mudah melakukan semua itu,
tapi jika kesadaran itu mulai dari guru apalagi literasi sebagai kebutuhan guru
profesional dan pada akhirnya hanya untuk menjadikan atau bertujuan agar
peserta didik mampu menghadapi masa depan yang penuh persaingan.
Kesiapan untuk menyukseskan
program literasi harus digotong secara bersama-sama tidak hanya melulu
diteladani oleh gurunya, orangtuapun ikut andil membentuk sehingga tanggung
jawab itu menjadi bersama dan akan terasa mudah serta ringan jika bersinergis.
Sarana literasi diawali di dalam keluarga dahulu dan dibarengi kesiapan sekolah menyukseskan
program literasi jika memungkinkan kita memangil orangtua/wali untuk
sosialisasi program tersebut. Syukur saja, jika gayung bersambut.
Ketersediaan perpustakaan dunia maya dan
nyata sangat perlu didukung, free wifi
dengan selancar yang cepat juga membantu, kemudian program membaca 15
menit sebelum pelajaran, mewajibkan
membeli buku bacaan yang positif lalu juga ada kontrol yang intensif di rumah
untuk budaya membaca tiap 15
menit sebelum melakukan kegiatan rumahnya dan bila perlu dibuatkan
portifolionya, bisa juga di desain RPP-nya
dimunculkan program budaya literasinya maka minimalisir gambaran
prosedurnya sudah terbaca dan mempunyai pengaruh yang tidak sedikit pada budaya
literasi siswa.
Provinsi DKI Jakarta yang baru didaulat
sebagai kota literasi jangan hanya stempel yang tak bermakna tapi juga
dibarengi dengan menyiapkan program pendukung. Berita yang baru ini yang cukup
membanggakan kurun 2 hari yang lalu semua kepala sekolah terutama di Jakarta
Pusat mendapat workshop pencairan
Kartu Jakarta Pintar, salah satu yang menarik adalah adanya dibolehkan membelanjakan seperangkat komputer
untuk menunjang pembelajaran di rumah, suatu dukungan dan program yang bijak
tepat sasaran dan sangat berarti penyediaan sarana bagi keluarga yang tidak
mampu dan ini tidak lagi menjadi alasan semuanya mendapat kesempatan untuk maju
dan sekolah yang setinggi-tingginya. Kebijakan Provinsi DKI ini perlu
diacungkan jempol dari sisi yang satu ini.
Namun lebih lengkap lagi seandainya ini
benar-benar terjadi Provinsi DKI Jakarta sebagai Cyber City dengan akses
gratis. Di Taman-taman kita mengakses internet dengan gratis, membaca e-book dengan mudahnya tanpa
memperhitungkan kuota kita masih tersedia apa tidak, Di Pusat-pusat
perbelanjaan tanpa kita harus membeli produk bisa berselancar dengan
sebebas-bebasnya sehingga setiap waktupun bisa membuat jurnal, menulis puisi
dan diari pada blog atau web yang
tersedia baik yang berbayar maupun tidak. Dan karena diakses siapapun maka
tentunya konten yang bersifat sara dan berbau pornografi diblok dahulu sehingga
muatan internet hanya diperuntukan untuk
kebutuhan siswa dan guru.
Dan pada akhirnya budaya literasi yang
menghinggap di provinsi DKI Jakarta akan jadi
habit karena ada sinergi secara sistematis baik horizontal maupun
vertikal. Buahnya para siswa akan akan menjadi manis masa depannya dan dan di
pentas dunia akan diperhitungkan. Mari, mulailah dengan diri kita, Bacalah!. (responden Bang Walan)